BOJONEGORO – Sikap Kepala Desa (Kades) Pacing, Kecamatan Sukosewu, dalam kasus penjualan motor warga semakin menuai tanda tanya besar. Alih-alih memberikan solusi, ia justru terkesan berperan sebagai makelar yang mencari keuntungan dari kesulitan warganya sendiri.
Kasus ini bermula ketika Yahmin, warga Desa Duyungan yang mengalami kesulitan keuangan usai terkena PHK, meminta bantuan kepada Kades Pacing. Ia berharap ada seseorang yang bersedia meneruskan cicilan motornya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya—motornya dijual tanpa sepengetahuannya, dan ketika ia ingin mengambil kembali, kades meminta tebusan yang jumlahnya melonjak drastis.
Yang lebih mencengangkan, Yahmin justru menerima pesan WhatsApp yang diduga berasal dari nomor Kades Pacing. Dalam pesan itu, kades menyarankan Yahmin untuk berhenti membayar angsuran agar motor bisa masuk ke skema pelunasan khusus (Pelsus).
“Pedot ae, Ko Ben diurusi Dewe BPKB ne,” tulis kades, yang berarti “Putus saja (angsuran), nanti BPKB-nya diurus sendiri.”
Ketika Yahmin meminta pertanggungjawaban atas motornya yang sudah berpindah tangan, jawaban Kades Pacing justru semakin memperkeruh suasana.
“Terserah kamu, wong sepeda juga nama mu kalau didatangi pihak bank urusan mu,” ujar kades, seolah menegaskan bahwa ia tak ingin lagi terlibat dalam masalah ini.
Awalnya, Kades Pacing mengklaim dirinya hanya perantara yang membantu mencarikan orang yang mau meneruskan cicilan. Namun, peranannya dalam kasus ini semakin dipertanyakan ketika Yahmin diminta membayar Rp 4 juta untuk mengambil kembali motornya. Hanya dalam dua hari, jumlah itu naik drastis menjadi Rp 10 juta.
Ketika Yahmin akhirnya berusaha menebus motornya dengan uang tersebut, kendaraan yang menjadi haknya ternyata sudah dijual tanpa persetujuan. Yang lebih parah, kades tidak bisa memberikan jawaban siapa pembelinya atau di mana motor itu sekarang.
“Saya hanya ingin motor saya kembali. Saya merasa dijebak. Dari awal saya datang meminta solusi, tapi justru dipermainkan,” ungkap Yahmin dengan nada kecewa.
Di tengah ketidakjelasan ini, muncul dugaan kuat bahwa Kades Pacing sejak awal tidak sekadar membantu, melainkan memiliki peran aktif dalam jual beli kendaraan yang masih dalam status kredit. Pesan WhatsApp yang menyarankan pemutusan cicilan semakin menguatkan kecurigaan tersebut.
Sampai saat ini, Yahmin masih berharap ada jalan untuk mendapatkan motornya kembali. Namun, dengan sikap Kades Pacing yang terus menghindar dari tanggung jawab, harapan itu semakin sulit terwujud. Jika benar kades berperan sebagai makelar yang mengambil keuntungan dari masalah warganya sendiri, kasus ini bisa menjadi gambaran nyata betapa mudahnya orang kecil dijerat dengan “solusi” yang ternyata adalah perangkap. (Red)