ORBIT NASIONAL – Tak banyak yang tahu bahwa Suzanna Martha Frederika van Osch, aktris legendaris film horor Indonesia, terlahir dari kisah pilu di tengah gejolak perang dunia.
Ia lahir tujuh bulan setelah ayahnya gugur dalam pertempuran melawan tentara Jepang pada Maret 1942. Saat itu, sang ibu tengah mengandungnya dua bulan.
Ayah Suzanna, Willem Van Osch, adalah seorang tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) berdarah campuran Belanda-Jerman.
Sedangkan sang ibu, Johanna Bojoh, adalah wanita asal Priangan yang memiliki darah Manado.
Keduanya dikenal sebagai seniman di masa kolonial, sang ayah aktif di dunia teater, dan ibunya adalah penyanyi keroncong.
Pernikahan mereka bahkan sempat diberitakan oleh koran kolonial De Locomotief pada 24 Januari 1936.
Suzanna lahir di Bogor pada Oktober 1942, di tengah situasi politik dan militer yang mencekam.
Masa penjajahan Jepang dan revolusi kemerdekaan membuat keluarga Suzanna hidup dalam bayang-bayang kekhawatiran, terlebih karena darah Eropa yang mengalir di tubuhnya.
Tak mudah menjadi anak keturunan Belanda di masa perjuangan kemerdekaan.
Namun semuanya perlahan berubah usai Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949, saat Belanda resmi mengakui kedaulatan Indonesia.
Keluarga Suzanna mulai menjalani hidup lebih tenang dan menyatu dengan masyarakat.
Sejak kecil, Suzanna sudah menunjukkan bakat di dunia seni. Debutnya dalam dunia film dimulai di usia 8 tahun, saat ia tampil sebagai figuran dalam film legendaris ‘Darah dan Do’a’ (1950) karya Usmar Ismail film yang diakui sebagai tonggak pertama perfilman nasional Indonesia.
Tak disangka, sang maestro Usmar Ismail kembali menggandengnya di usia 16 tahun untuk berperan sebagai Ina dalam film ‘Asmara Dara’ (1958).
Penampilannya yang memukau membawa pulang penghargaan Aktris Cilik Terbaik di Festival Film Asia 1960 di Tokyo — pencapaian yang luar biasa bagi seorang remaja Indonesia di masa itu.
Karier Suzanna meroket di dekade 70-an. Film ‘Bernafas Dalam Lumpur’ yang dirilis tahun 1970 bukan hanya melejitkan namanya, tapi juga memberinya penghargaan Runner Up I Aktor dan Aktris Terbaik versi PWI.
Pada tahun 1979, Suzanna meraih Piala Citra FFI untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik dalam film ‘Pulau Cinta’.
Namun puncak ketenarannya benar-benar terjadi ketika ia menjadi ikon film horor Indonesia.
Penampilannya yang khas, tatapan mata yang menusuk, serta aura mistis yang kuat membuat publik menjulukinya sebagai “Ratu Horor Indonesia”.
Film-film seperti ‘Sundel Bolong’, ‘Ratu Ilmu Hitam’, hingga ‘Beranak Dalam Kubur’ jadi legenda yang tak lekang oleh waktu.
Bahkan, konon, Suzanna sempat menyandang gelar artis dengan bayaran tertinggi di Indonesia pada masa kejayaannya.
Suzanna bukan hanya aktris, tapi simbol. Simbol dari perjuangan, transformasi, dan seni.
Dari bayi yatim di masa perang hingga aktris besar yang dicintai lintas generasi.
Kisah hidupnya membuktikan bahwa dari luka dan kesunyian bisa lahir kekuatan besar yang menginspirasi banyak orang. (yen)