Daerah

Program Bergizi Tapi Penuh Intrik, Dugaan Nepotisme di Balik Dapur SPPG Bojonegoro

aksesadim01
5895
×

Program Bergizi Tapi Penuh Intrik, Dugaan Nepotisme di Balik Dapur SPPG Bojonegoro

Sebarkan artikel ini
Ed970489 fdf8 45a8 af8b 0b67db26bf18

BOJONEGORO — Program nasional Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang sebagai langkah pemerintah untuk meningkatkan gizi anak sekolah mulai menuai sorotan di Kabupaten Bojonegoro.

Di balik semangat mulia program tersebut, muncul aroma persaingan bisnis yang tajam antar pelaku usaha lokal dalam pengelolaan dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi atau SPPG.

Pemerintah melalui Badan Gizi Nasional (BGN) menargetkan pembangunan ribuan dapur SPPG di seluruh Indonesia. Bojonegoro menjadi salah satu daerah yang gencar menyiapkan diri.

Program ini tidak hanya berdampak sosial, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat.

Namun, di lapangan, euforia peluang itu justru memunculkan gesekan kepentingan dan potensi monopoli.

Beberapa pelaku usaha mengaku terjadi persaingan ketat untuk bisa menjadi mitra resmi dapur SPPG. Setiap kelompok berupaya keras mendapatkan jatah pelayanan di sekolah-sekolah penerima program MBG.

“Banyak politikus yang ingin ikut mendirikan dapur. Tapi kuota SPPG terbatas, jadi ada persaingan untuk bisa dapat wilayah pelayanan,” ujar salah satu pengelola dapur SPPG yang namanya minta dirahasiakan karena takut ada intimidasi, Selasa (7/12025).

Ia mengaku ada pihak-pihak tertentu yang berusaha menguasai distribusi dan dapur SPPG di beberapa kecamatan.

Praktik ini diduga melibatkan kelompok dan keluarga tertentu yang mengatur siapa boleh bergabung dan siapa yang harus tersingkir.

Yang lebih mengejutkan, sumber itu menuturkan adanya campur tangan seorang politikus lokal dalam pengaturan kuota SPPG di beberapa kecamatan Kabupaten Bojonegoro.

“Saya dapat ancaman halus. Katanya, kuota SPPG milik dia harus terpenuhi dulu. Kalau sudah, baru yang lain boleh dapat giliran melayani sekolah-sekolah lain,” ujarnya.

Situasi ini dikhawatirkan akan menimbulkan monopoli dan ketimpangan dalam pelaksanaan program MBG.

Jika benar, maka tujuan utama pemerintah untuk membuka lapangan kerja dan memperluas partisipasi masyarakat bisa terhambat.

Di sisi lain, masyarakat menyoroti perbedaan kualitas dan keamanan pangan antar dapur SPPG. Ada dapur yang dinilai profesional dan higienis, tetapi ada pula yang terkesan asal-asalan demi mengejar target distribusi.

Jika tak segera diawasi, kondisi ini bisa menurunkan citra positif program MBG yang sejatinya diharapkan menjadi simbol kepedulian negara terhadap gizi anak bangsa.

Karyawanto, pengamat kebijakan publik menilai, Bojonegoro perlu memperkuat mekanisme pengawasan dan transparansi dalam proses penentuan mitra SPPG.

Selain untuk menghindari praktik curang, hal ini penting agar manfaat program benar-benar dirasakan oleh masyarakat secara luas.

“SPPG seharusnya menjadi ruang kolaborasi, bukan ajang perebutan kuasa atau kepentingan pribadi,” ujarnya.

Kini masyarakat pun menanti langkah tegas pemerintah daerah dan Badan Gizi Nasional untuk memastikan pelaksanaan MBG di Bojonegoro berjalan adil, bersih, dan profesional sesuai dengan semangat pemerataan kesejahteraan yang diusung program ini. (yen)