Infotaiment

Petani Bojonegoro Gigit Jari, Janji Manis HPP Gabah Terbentur Birokrasi Bulog

aksesadim01
2855
×

Petani Bojonegoro Gigit Jari, Janji Manis HPP Gabah Terbentur Birokrasi Bulog

Sebarkan artikel ini
Img 20250326 wa0067

BOJONEGORO – Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah sebesar Rp6.500 per kilogram, yang ditetapkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) sejak 15 Januari 2025, seharusnya menjadi angin segar bagi para petani Bojonegoro.

Tujuannya mulia, meningkatkan kesejahteraan dan melindungi pendapatan para pahlawan pangan ini.

Namun, implementasinya di lapangan justru menimbulkan tanda tanya besar, karena harga gabah ditingkat petani hanya di hargai Rp5.400 per kilogram.

Bulog cabang Bojonegoro dituding kurang gesit dalam menjalankan instruksi pusat ini.

Alih-alih mempermudah, aturan yang berbelit dan keengganan Bulog untuk langsung “turun gunung” membuat petani merasa dipermainkan.

Yono, seorang tokoh masyarakat Bojonegoro, angkat bicara. Menurutnya, mekanisme penyerapan gabah seharusnya sederhana.

“Kalau presiden sudah menetapkan HPP Rp6.500, ongkos kombi Rp500, sisa Rp6.000 harga gabah di tingkat petani,” ungkapnya, Kamis (27/3/2025).

Ironisnya, yang terjadi saat ini justru Bulog menggandeng kelompok tani.

“Seharusnya Bulog itu menggandeng tengkulak-tengkulak di desa-desa, kasih ongkos timbang Rp200 per kilo, jadi petani masih dapat Rp5.800,” urainya dengan nada geram.

Dirinya juga menjelaskan, bahwa saat ini, petani melalui kelompok tani menyetorkan gabah ke Bulog, namun pembayaran seringkali molor hingga beberapa hari.

“Kelompok tani sudah tidak dapat upah, Bulog bayarnya tidak langsung pula. Akhirnya kelompok tani jadi malas, belum lagi harus membuka rekening segala,” keluh Yono.

Kondisi ini tentu saja membuat para petani kecewa dan bertanya-tanya, kemana arah kebijakan yang katanya pro petani ini.

Janji HPP yang diharapkan menjadi penyelamat, justru terkesan hanya menjadi macan kertas di tingkat implementasi.

Apakah Bulog Bojonegoro perlu “turun tangan” langsung ke lapangan dan merangkul para pedagang gabah di tingkat desa seperti yang disarankan?

Ataukah ada solusi lain yang lebih efektif untuk memastikan HPP benar-benar dirasakan manfaatnya oleh para petani?

Yang jelas, para petani Bojonegoro kini menanti aksi nyata, bukan sekadar janji di atas kertas.

Mereka berharap, jerih payah mereka dalam menghasilkan pangan dihargai dengan harga yang layak dan proses penjualan yang tidak memberatkan. (yen)