NGANJUK – Dunia Kepolisian Republik Indonesia kembali diguncang oleh ulah oknum anggotanya. Kali ini, seorang anggota Brimob yang diketahui berinisial Bharada KLVN, asal Dusun Plimping, Desa Gebangkerep, Kecamatan Baron, Kabupaten Nganjuk, diduga kuat telah melakukan pelanggaran berat dan mencoreng nama institusi.
Oknum tersebut diduga memaksa kekasihnya sendiri, sebut saja AY, seorang perempuan muda asal Dusun Turi, Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso, Kabupaten Nganjuk, untuk melakukan aborsi secara paksa.
Kisah memilukan ini kini viral dan menjadi sorotan tajam masyarakat, baik di Nganjuk maupun secara nasional.
Dari penelusuran awak media di lapangan, korban AY mengaku telah menjalin hubungan asmara dengan Bharada KLVN sejak 2018, ketika keduanya masih duduk di bangku SMA.
Setelah lulus sekolah, KLVN kemudian mendaftar menjadi anggota kepolisian. Selama proses pendaftaran dan pendidikan, AY mengaku selalu mendampingi dan membantu segala keperluan administrasi serta pemberkasan.
“Dia (KLVN) janji akan menikahi saya setelah selesai pendidikan. Karena percaya, saya nurut saat dia ajak berhubungan seperti suami istri,” ungkap AY kepada wartawan, Minggu (5/10/2025).
Namun, kebahagiaan AY berubah menjadi mimpi buruk. Beberapa waktu kemudian, ia terlambat datang bulan dan hasil tes menunjukkan dirinya positif hamil. Alih-alih bertanggung jawab, KLVN justru memaksa AY menggugurkan kandungannya.
Menurut pengakuan AY, KLVN sempat mengancam tidak akan menikahinya jika dia menolak aborsi. Bahkan, ia memberikan sejumlah uang untuk membeli obat penggugur kandungan, serta menyuruh AY pergi ke dukun beranak guna menggugurkan janin yang masih berusia dua bulan.
“Saya takut, tapi dia terus menekan saya. Akhirnya saya turuti. Setelah itu, malah saya ditinggalkan. Nomor saya diblokir, saya tidak bisa menghubungi dia lagi,” tutur AY menahan tangis.
Tidak berhenti sampai di situ, AY mengaku sempat berusaha mencari keberadaan KLVN di tempat dinasnya, yakni di Batalyon A Kompi III Brimob, Kavling Keuangan Raya No. 30, RT 01 RW 06, Kedaung, Pamulang, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten.
Namun, bukannya mendapat kejelasan, korban justru mengalami penyekapan selama dua hari di sebuah apartemen.
AY menyebut dirinya diancam oleh KLVN dan seorang yang mengaku seniornya, agar tidak melapor ke pihak berwajib.
“Mereka ancam akan menghabisi saya dan keluarga kalau saya berani buka mulut ke Propam,” ungkap AY.
Merasa tidak mendapatkan keadilan dan keamanan, AY bersama keluarganya kini berencana melaporkan kasus ini ke Propam Polda Jawa Timur.
Dirinya berharap agar pelaku segera diproses sesuai hukum yang berlaku, hingga dijatuhi PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat).
“Ini sudah menyangkut nyawa dan harga diri keluarga saya. Kami minta pelaku dihukum seberat-beratnya agar jadi pelajaran,” tegas AY.
Pihak awak media telah berupaya melakukan konfirmasi langsung kepada Bharada KLVN melalui pesan singkat WhatsApp terkait dugaan pemaksaan aborsi ini.
Namun hingga berita ini diturunkan, tidak ada tanggapan dari yang bersangkutan.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik dan menimbulkan kecaman keras dari masyarakat, yang menilai tindakan tersebut tidak hanya mencoreng nama baik institusi kepolisian, tetapi juga memperlihatkan penyalahgunaan kekuasaan dan moralitas seorang aparat negara.
Kasus dugaan ini diharapkan segera mendapat penanganan serius oleh pihak berwenang, agar kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian tidak semakin luntur.
Jika benar terbukti, tindakan tersebut bisa dijerat dengan Pasal 346 KUHP tentang Aborsi tanpa indikasi medis, serta pelanggaran berat kode etik Polri yang berujung pada pemecatan tidak hormat. (Er)