MALANG – Di jantung Singosari yang senyap, berdiri sepasang bukit kecil yang menyimpan kisah agung masa silam yaitu Gunung Gondomayit dan Gunung Bret.
Keduanya bukan hanya gundukan tanah dan batu, melainkan lanskap sunyi yang dipahat oleh kepercayaan kuno, legenda kerajaan, dan nyanyian kidung zaman Majapahit.
Di antara kabut pagi dan desir angin yang membawa harum rerumputan basah, nama “Gondomayit” terdengar menggigilkan. Warga sekitar mengenalnya sebagai “gunung mayat” konon di sanalah tubuh-tubuh yang tak kasat mata bersemayam.
Ada yang bersumpah pernah mencium bau busuk dari puncaknya. Ada pula yang bersaksi, gunung itu adalah tempat peristirahatan Kebo Ijo yang dibunuh oleh Ken Angrok dengan siasat menggetarkan takdir Singosari.
Namun sejarah punya suara yang berbeda lebih dalam, lebih sakral. Dalam teks-teks Jawa Kuno, gunung ini dahulu dikenal dengan nama Gondomayu, gondo berarti aroma harum, dan mayu adalah keindahan, kesucian, dan keteduhan batin. Sebuah nama yang mengandung makna spiritual, bukan kematian.
Dalam Kidung Sudamala dan Kidung Sri Tanjung, Gondomayu bukan tempat mayat, melainkan taman suci tempat Bhatari Durga bersemayam.
Dikisahkan, Dewi Uma, istri Bhatara Guru dikutuk menjadi Durga dan menjalani laku tapa di hutan angker Gandamayu, tempat makhluk-makhluk gaib menari dalam senyap.
Relief ini terukir di dinding Candi Penataran dan Tegowangi jejak abadi yang tak bisa dibohongi oleh waktu.
Gondomayu adalah mandala pertapaan, pusat spiritual para abet para pertapa yang menepi dari dunia fana, mengejar kebijaksanaan di balik kesunyian.
Dalam Kidung Panji Margasmara, sang Panji sendiri menyinggahi tempat ini, bersembunyi, memuja, lalu menerima wahyu dari Ra Nini, sang Durga dalam wujud agungnya.
Namun waktu mengubah lidah manusia. Dari Gondomayu menjadi Gondomayi, lalu bergeser menjadi Gondomayit, mungkin karena pengaruh kata Arab mayyit yang berarti jasad.
Nuansa wangi surgawi pun berganti dengan aura kematian. Tempat suci berubah jadi legenda horor.
“Bukan mayat yang harum, tapi keharuman yang disangka mayat,” kata Suwardono, sejarawan Malang yang meneliti filologi dan epigrafi Jawa, Senin (23/6/2025).
Ia menegaskan, gunung ini menyimpan potensi besar sebagai situs sejarah spiritual Jawa kuno sebuah tapak suci yang menunggu ditemukan kembali, bukan sekadar diceritakan ulang dalam kisah-kisah menyeramkan.
Gunung Gondomayit mungkin telah berubah nama, tapi jiwanya tak bisa dipalsukan. Di balik kabutnya, masih bergema mantra-mantra lama. Di balik sunyinya, tersimpan nyanyian para pertapa yang menautkan hidup dengan keabadian. (Fur)