JAKARTA – Ironi besar tengah menyelimuti PT Kimia Farma Tbk, salah satu perusahaan pelat merah yang bergerak di sektor farmasi.
Meski menguasai lebih dari 1.300 apotek di seluruh penjuru Indonesia, dari pusat kota hingga pelosok daerah, perusahaan ini justru mencatat kerugian demi kerugian yang makin mengkhawatirkan.
Federasi Serikat Pekerja Farmasi dan Kesehatan (FSP FARKES KSPI) pun angkat suara. Sekretaris Jenderal FSP FARKES KSPI, Idris Idham, mempertanyakan kinerja Kimia Farma yang dianggap tak masuk akal bila melihat potensi dan skala operasionalnya.
“Kimia Farma ini bukan perusahaan kecil. Mereka punya jaringan apotek luas, klinik, dan lini produksi sendiri. Di atas kertas, semua syarat untuk jadi raksasa industri farmasi nasional sudah terpenuhi. Tapi faktanya, mereka terus-menerus rugi. Ini sangat aneh dan patut dipertanyakan,” tegas Idris, yang juga menjabat sebagai Wakil Sekjen KSPI Bidang Hubungan Industrial, Sabtu (10/5/2025).
Idris menyebut, kondisi keuangan yang memburuk ini bukan kali pertama terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, laporan keuangan Kimia Farma terus mencatatkan kinerja negatif, padahal kebutuhan masyarakat terhadap obat dan layanan kesehatan terus meningkat, apalagi sejak pandemi COVID-19.
“Jangan-jangan ini ada yang salah dalam tata kelola. Apakah ada proyek gagal, pemborosan, atau bahkan praktik-praktik yang tidak transparan,” ujarnya penuh tanya.
Lebih dari sekadar urusan bisnis, Idris menegaskan bahwa Kimia Farma adalah BUMN strategis yang punya tanggung jawab besar terhadap publik.
Dari akses obat yang terjangkau hingga keberlangsungan hidup ribuan pekerjanya, semua harus dipikirkan secara matang.
“Jangan hanya mikir laporan keuangan. Kami banyak menerima keluhan dari lapangan gaji telat, status kerja tidak jelas, beban kerja makin berat karena efisiensi sepihak. Ini bukan cuma soal untung rugi, tapi soal martabat dan keberlangsungan hidup para pekerja,” ucapnya prihatin.
FSP FARKES KSPI juga mengingatkan pemerintah bahwa merosotnya performa Kimia Farma bisa mencerminkan lemahnya visi besar pemerintah dalam membangun kedaulatan industri kesehatan nasional.
Di tengah tantangan global dan rencana transformasi sistem kesehatan Indonesia, Kimia Farma seharusnya jadi pelopor, bukan malah tenggelam.
“Kalau BUMN sebesar Kimia Farma tumbang, siapa yang akan kita andalkan untuk penyediaan obat strategis dalam negeri. Masa kita terus bergantung pada impor,” tegas Idris.
Sebagai bentuk tanggung jawab dan transparansi, FSP FARKES KSPI mendesak dilakukan audit menyeluruh terhadap Kimia Farma.
Audit itu harus terbuka dan melibatkan unsur pekerja sebagai bagian dari pengawasan publik.
Pemerintah, lanjut Idris, juga wajib memastikan bahwa langkah penyelamatan perusahaan tidak menjadikan pekerja sebagai korban, tapi justru melibatkan mereka sebagai bagian dari solusi. (Dms)