SURABAYA – Skandal hukum kembali menyeruak di Jawa Timur. Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), Hartanto Boechori, dengan lantang menyuarakan keprihatinannya atas dugaan kuat adanya mafia hukum yang merajalela di balik kasus sengketa tanah yang dialami Hendro Moedjianto (79).
Konferensi pers yang digelar Minggu (28/9/2025) di Excelco Jemursari Surabaya, dihadiri Hendro bersama istri, tim kuasa hukum MMT Yudhihari HH., SH., dan Yuno Veolenna T.E.P.M., serta jajaran PJI.
Fakta-fakta mencengangkan terungkap, hakim diduga mengabaikan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 10 Tahun 2020 dan sejumlah yurisprudensi penting.
Kuasa hukum Hendro, Yudhihari, menyebut perjalanan kasus ini penuh inkonsistensi. “Putusan pengadilan bisa jungkir balik. Salah bisa jadi benar, benar bisa dianggap salah. Ini indikasi mafia hukum,” tegasnya.
Padahal, jelas Yudhi, SEMA No. 10 Tahun 2020 menegaskan bahwa pemilik sah sebidang tanah adalah nama yang tercantum dalam sertifikat.
Bahkan aturan itu menegaskan akta jual beli tanah berlaku sebagai bukti sah jika mencantumkan bukti pelunasan. Namun, hakim justru bisa memutus sebaliknya.
“Bagaimana mungkin substansi SEMA yang jadi pedoman Mahkamah Agung diabaikan begitu saja. Ini preseden buruk,” kritiknya sambil menunjukkan isi SEMA.
Awalnya, Hendro dan Leon Agustono mendirikan PT Anyar Motor tahun 2001. Dalam perjalanan, Hendro membeli tujuh bidang tanah sah dengan sertifikat atas nama dirinya.
Namun, pada 2004, Leon secara sepihak membubarkan PT dan mengubahnya menjadi CV tanpa RUPS.
Dalam CV itu, hanya nama Leon yang muncul, sementara tanah milik Hendro diklaim sebagai aset perusahaan, dengan alasan Hendro sekedar “dipinjam namanya”.
Sejak itu, pertarungan hukum panjang dimulai:
PN Surabaya (2018) dan PT Jatim (2019) memenangkan Leon.
Kasasi MA (2020) justru berpihak ke Hendro.
PK (2023-2024) kembali dimenangkan Leon, bahkan berujung eksekusi tanah Hendro.
PT Surabaya (2025) menyatakan eksekusi tidak sah, tanah kembali atas nama Hendro.
Kini, kasus masih berlanjut di tingkat kasasi Mahkamah Agung.
Di jalur pidana, Hendro juga menemui jalan buntu. Laporan ke Polda Jatim (2017) dan Polres Jombang (2024) terkait dugaan pemalsuan akta dihentikan dengan alasan “tidak ada peristiwa pidana”, meski notaris pembuat akta pembubaran PT sudah dinyatakan bersalah oleh Majelis Pengawas Notaris (MPN).
Sementara, Ketua Umum PJI, Hartanto Boechori, menegaskan kasus ini bukan sekadar sengketa tanah. “Ini soal marwah peradilan. Jika pedoman Mahkamah Agung sendiri tidak dihormati, ke mana lagi rakyat mencari keadilan,” katanya.
Menurut Hartanto, putusan yang saling bertolak belakang menunjukkan ada indikasi mafia hukum di balik peradilan.
Ia mendesak MA, Badan Pengawas MA, dan Komisi Yudisial segera menindak tegas hakim yang menyimpang dari SEMA serta mengusut permainan mafia hukum di balik kasus ini.
Tak hanya itu, Hartanto juga menyoroti peran kepolisian. “Kalau benar laporan dihentikan tanpa memeriksa saksi kunci, ini jelas-jelas kelalaian. Polisi harus buka kembali kasus pidana ini. MPN juga harus lebih tegas menghukum notaris yang menyalahgunakan jabatannya,” tegasnya.
Hartanto memastikan dirinya akan mengawal kasus ini hingga ke Presiden. “Saya akan surati semua lembaga, termasuk Presiden. Penegakan hukum harus jadi prioritas nasional untuk direvolusi. Mafia hukum tidak boleh dibiarkan bercokol,” tutup tokoh pers nasional itu dengan tegas. (Sam)