SIDOARJO — Ketika sampah menumpuk di depan Rumah Pemotongan Unggas (RPU) Krian, Sidoarjo, tak ada yang menyangka akan berujung pada intimidasi terhadap jurnalis.
Aminatus Sakdiyah, wartawan media online, jadi korban saat meliput tumpukan sampah liar di Jalan Dr. Wahidin Sudirohusodo.
Alih-alih mendapat dukungan, ia justru dihalangi dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.
Namun, suasana memanas itu akhirnya mereda. Pada Selasa (20/5/2025), mediasi damai digelar di Balai RW 08, Dusun Ngingas Barat.
Dalam forum kekeluargaan yang dihadiri warga, tokoh masyarakat, dan jurnalis dari Komunitas Jurnalis Jawa Timur (KJJT) Sidoarjo, permintaan maaf terbuka disampaikan kepada Aminatus.
Ketua RW 08, Muhammad Mukti Abidin, menegaskan bahwa insiden itu terjadi akibat miskomunikasi dan kurangnya pemahaman soal peran jurnalis di masyarakat.
“Kami minta maaf kepada Mbak Aminatus dan semua rekan media. Semoga ini jadi pelajaran berharga agar hal serupa tak terulang,” ucap Mukti.
Hal senada disampaikan Muklas, Kepala Keamanan di lokasi. Ia mengakui kesalahannya yang sempat menghambat kerja jurnalistik Aminatus.
“Saya salah. Dan saya ambil ini sebagai pelajaran penting untuk ke depannya,” ujarnya dengan nada tulus.
Insiden ini ternyata berdampak lebih luas. Anak-anak Aminatus sempat mengalami perundungan di sekolah.
Warga dan tokoh masyarakat berkomitmen untuk mendampingi pemulihan kondisi psikologis keluarganya.
Aminatus, dengan ketegaran luar biasa, memilih memaafkan.
“Saya ingin tetap menjaga harmoni. Apalagi masih ada hubungan keluarga dengan pihak RW,” katanya.
Ia juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dari komunitas jurnalis.
“Tanpa support dari teman-teman jurnalis, saya mungkin tidak akan sanggup menghadapi tekanan ini,” ucapnya.
Latar belakang kejadian ini adalah persoalan klasik sampah. Ketua RW menyatakan pihaknya telah bergerak cepat dan berkoordinasi dengan kelurahan agar warga tak lagi buang sampah sembarangan.
“Nantinya semua sampah akan dikumpulkan dan dibuang ke TPS Gamping Barat,” jelas Mukti.
Ketua KJJT Sidoarjo, Arri Pratama, menyesalkan kejadian ini dan menyerukan pentingnya edukasi profesi jurnalis bagi masyarakat.
“Kita harus duduk bersama, bukan saling curiga. Jangan tunggu ada korban baru pemerintah bertindak,” tegasnya.
Lebih dari sekadar konflik warga dan jurnalis, insiden ini mencerminkan persoalan sistemik yang harus segera diatasi.
Tanpa pengelolaan sampah yang baik dan edukasi publik soal kebebasan pers, kasus serupa bisa terus terulang.
Penyelesaian damai ini jadi momen penting untuk membangun kesadaran kolektif, memperkuat sinergi antara masyarakat, pemerintah, dan media agar lingkungan bersih dan informasi sehat bisa berjalan berdampingan. (Red)