LAMONGAN – Publik kembali dibuat terheran-heran setelah data dari Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Satuan Kerja Dinas Komunikasi dan Informatika (Dinkominfo) Kabupaten Lamongan beredar.
Dari data tersebut terungkap adanya pos belanja yang terkesan janggal dan fantastis, belanja kawat, faksimili, internet, hingga TV berlangganan dengan nilai yang menembus miliaran rupiah.
Berdasarkan catatan LPSE, pada tahun 2025, Dinkominfo Lamongan tercatat mengalokasikan, Rp 780 juta untuk pos “Belanja Kawat/Faksimili/Internet/TV Berlangganan” melalui mekanisme e-purchasing dengan sumber dana APBD (kode paket 53724319).
Rp 180 juta untuk pos serupa dengan kode paket 53724727. Ditambah lagi, sejumlah paket lain dengan nilai mencapai puluhan juta rupiah, antara lain Rp 20,9 juta, Rp 30,075 juta, Rp 21,432 juta dan Rp 1.613.220.
Jika dijumlahkan, angka tersebut membengkak hingga lebih dari Rp 1 miliar hanya untuk belanja layanan komunikasi, internet, dan TV berbayar.
Anggaran sebesar itu langsung memicu sorotan publik. Banyak yang menilai, belanja tersebut terlalu besar untuk kebutuhan internet dan TV berlangganan, apalagi dengan kondisi ekonomi masyarakat yang masih berjuang pasca pandemi.
“Logikanya, buat apa sampai miliaran untuk TV berlangganan. Kalau internet kantor oke, tapi nilainya harus rasional. Ini kan terkesan boros,” ujar Ali salah satu aktivis pemerhati anggaran di Lamongan, Rabu (10/9/2025).
Kritik juga diarahkan pada transparansi penggunaan dana APBD. Pasalnya, detail kebutuhan yang sebenarnya tidak dijelaskan secara terbuka kepada masyarakat.
Publik pun bertanya-tanya, apakah belanja itu memang murni kebutuhan kerja atau justru hanya pemborosan yang membebani keuangan daerah.
Beban APBD di Tengah Kebutuhan Rakyat
Di saat masyarakat masih berharap peningkatan layanan publik, infrastruktur, dan bantuan sosial, kabar tentang anggaran fantastis untuk belanja internet dan TV berlangganan ini terasa ironis.
Alih-alih diarahkan pada program yang langsung menyentuh kebutuhan rakyat, uang rakyat justru habis untuk sesuatu yang dipertanyakan manfaatnya.
Belanja dengan angka sebesar itu dikhawatirkan hanya menjadi pintu masuk pemborosan APBD. Apalagi, belanja jasa internet biasanya bisa ditekan melalui mekanisme tender kompetitif, bukan justru dibiarkan membengkak hingga miliaran rupiah.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya pengawasan publik terhadap penggunaan anggaran daerah. Lembaga legislatif, aparat pengawas internal pemerintah (APIP), hingga aparat penegak hukum diharapkan turun tangan untuk mengaudit detail penggunaan dana tersebut.
Tanpa penjelasan resmi, publik akan terus menduga-duga dan kehilangan kepercayaan. Transparansi bukan sekedar slogan, tetapi kewajiban yang harus dijalankan pemerintah daerah untuk memastikan APBD benar-benar dipakai demi kepentingan masyarakat luas. (Bup)