BOJONEGORO – Laporan dugaan pelanggaran etik ASN yang terjadi di SDN Sumberrejo 2, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro, hingga, Senin (14/07/2025) tak kunjung mendapat kejelasan.
Sang pelapor, Prayogi G.S, mengungkap bahwa kasus tersebut seolah-olah dibiarkan tenggelam tanpa proses hukum yang transparan.
Bahkan, ia menduga ada indikasi upaya penutupan atau pengabaian prosedur oleh pihak terkait di lingkup Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten Bojonegoro.
Kisah ini bermula dari insiden yang terjadi pada 25 September 2024 lalu di lingkungan sekolah SDN Sumberrejo 2.
Pelapor mengaku mengalami perlakuan tidak pantas dari oknum guru berinisial ADW (diketahui sebagai Agung Dwi Wibowo), serta keterlibatan langsung dari Kepala Sekolah Siti Mukafidhoh.
“Saya didorong keluar ruangan dengan kasar oleh oknum guru itu, disaksikan oleh kepala sekolah. Bahkan saya merasa dihina secara terbuka di lingkungan sekolah. Ini bukan tindakan yang pantas dilakukan oleh ASN,” ungkap Prayogi.
Lebih parah lagi, lanjut pelapor, kepala sekolah diduga turut merekam video dan menyebarkannya, yang menurutnya telah melanggar kode etik ASN bahkan bisa masuk ke ranah pelanggaran Undang-Undang ITE.
Pelapor menyebut dirinya sudah secara resmi mengajukan laporan etik pada 10 November 2024 ke BKPP Bojonegoro.
Namun sejak saat itu hingga pertengahan Juli 2025, tidak ada proses pemeriksaan saksi, tidak ada pemanggilan resmi terhadap dirinya selaku pelapor, maupun saksi-saksi lain yang mengetahui kejadian.
Ironisnya, saat ia menanyakan perkembangan kasus ini pada Januari 2025 dengan seorang rekan advokat di Lamongan, barulah diketahui bahwa laporan tersebut sempat dibahas oleh pihak BKPP yang diwakili oleh seorang pejabat bernama Danu.
Namun, setelah beberapa bulan tanpa kejelasan, pelapor terus mengejar informasi.
Pada pertengahan Juli 2025, pelapor akhirnya berhasil menghubungi pejabat pengganti Danu bernama Daniar, yang kini menjabat sebagai Kabid PPI BKPP Bojonegoro.
Ia terkejut ketika disebutkan bahwa perkara ini sudah diputuskan dan dianggap selesai.
“Saya tanya, siapa saja yang diperiksa. Katanya cuma berdasarkan mediasi di Polres. Lah, padahal itu cuma mediasi, bukan pemeriksaan etik! Ini jelas tidak nyambung,” tegasnya.
Pelapor menilai proses tersebut tidak sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam PP Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Di mana seharusnya dilakukan pengumpulan data, klarifikasi, pemeriksaan saksi, serta pendalaman di tempat kejadian.
“Bagaimana mungkin bisa ada keputusan kalau saya sebagai pelapor belum dimintai keterangan? Saksi saya juga tidak dipanggil. Bahkan, saksi dari pihak terlapor pun tidak pernah muncul!” imbuhnya.
Menceritakan kronologi lebih dalam, pelapor menjelaskan bahwa insiden bermula dari kesalahpahaman internal rumah tangga, namun malah melebar menjadi persekusi terbuka di lingkungan sekolah. Ia merasa direndahkan di depan umum, baik oleh kepala sekolah maupun oknum guru.
“Kalau kepala sekolah dan guru ini ASN yang benar, seharusnya mereka mendamaikan. Bukan justru menyerang, mendorong saya keluar ruangan, seolah saya ini penjahat. Padahal saya datang baik-baik,” jelasnya.
Ia juga menyebut memiliki dua saksi, yakni sopir dan temannya yang berada di dalam mobil dan melihat kejadian secara langsung.
Merasa dipermainkan oleh birokrasi yang tak kunjung memberi kejelasan, pelapor menuntut agar Bupati Bojonegoro, Inspektorat, hingga Ombudsman Jawa Timur segera turun tangan
“Saya minta kasus ini dibuka kembali, diproses sesuai aturan. Kalau memang ASN bersalah, ya beri sanksi. Kalau tidak, beri kejelasan secara hukum. Jangan ditutup-tutupi,” tegasnya.
Kasus ini membuka kembali pertanyaan lama tentang transparansi penanganan pelanggaran etik ASN di daerah. Jika kasus-kasus seperti ini terus didiamkan, akan muncul preseden buruk bahwa ASN kebal hukum dan bisa memperlakukan warga sipil seenaknya, tanpa takut sanksi.
Apakah BKPP Bojonegoro benar-benar sudah memeriksa kasus ini sesuai prosedur, atau justru ada “aroma” yang patut dicurigai.
Publik menanti tindakan tegas dan terbuka dari aparat berwenang. Sebab keadilan tidak bisa berjalan, jika birokrasi menutup mata. (yen)