MOJOKERTO – Di balik seragam penegak hukum, ada segelintir oknum yang diduga menyalahgunakan kewenangan untuk “memperdagangkan” keadilan.
Dalam sebuah investigasi eksklusif yang dilakukan oleh Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), terungkap dugaan praktik pemerasan dan kekerasan terhadap seorang tersangka muda berinisial ARH (27) di lingkungan Polres Mojokerto.
Kisah ini bermula dari laporan salah satu wartawan PJI yang juga kakak ipar ARH. Ia mengabarkan adanya dugaan pemukulan, intimidasi, hingga negosiasi “penghilangan pasal berat” dengan nilai fantastis yang disamarkan dalam kode “Kacamata” yang kemudian diartikan setara Rp150 juta.
Sudah dua kali Kapolres Mojokerto dan Kasat Reskrim dilayangkan surat klarifikasi resmi, masing-masing tertanggal 7 dan 9 Juli 2025.
Namun, hingga tulisan ini dibuat, tak satu pun yang memberi tanggapan. Padahal, surat tersebut memuat 14 pertanyaan penting terkait dugaan pelanggaran kode etik dan hukum pidana oleh oknum penyidik.
Kasus bermula pada 8 Mei 2025, saat ARH diamankan di Polsek Sedati, Sidoarjo, atas dugaan penganiayaan terhadap kekasihnya yang telah berpacaran dengannya selama lebih dari 4 tahun.
Siangnya, ARH dipindahkan ke Polres Mojokerto untuk diperiksa. Namun, permintaan kakak iparnya untuk mendampingi proses BAP ditolak mentah-mentah. BAP dilakukan tanpa penasehat hukum, tanpa pendamping keluarga.
Saat dijenguk keesokan harinya, keluarga ARH menemukan mata kanan lebam dan memar, dengan bekas darah di bagian putih matanya.
Dirinya mengaku dipukul dan dibentak oleh oknum penyidik agar mengakui sesuatu yang tak seluruhnya benar. Ia menandatangani BAP dalam kondisi tertekan dan takut. Setelah itu, muncul penawaran menggiurkan.
“Kalau mau pasal percobaan pembunuhan dihilangkan, siapkan uang… ‘Kacamata’,” ujar oknum penyidik, yang belakangan diartikan Rp150 juta.
PJI lalu membentuk tim investigasi terbatas. Jurnalis lapangan yang juga keluarga ARH diinstruksikan untuk “mengeksekusi” interaksi tawar-menawar itu, agar rekaman dan bukti bisa didapat tanpa melanggar Kode Etik Jurnalistik (KEJ) secara berlebihan.
Anggota tim sempat diajak ke belakang ruang Resmob, menunjukkan isi chat antara penyidik dengan atasan mereka. Angkanya 150 juta rupiah untuk “hapus pasal”. Tim PJI memilih tidak melanjutkan negosiasi.
Hal mengejutkan lainnya, korban sendiri, kekasih ARH, menyatakan telah memaafkan. Dalam pernyataan tertulis yang disampaikan ke penyidik, ia mengaku tidak percaya ARH memiliki niat membunuh, apalagi mereka memang akan menikah pada Juni 2025.
Ia menyaksikan sendiri lebam dan sundutan rokok di tubuh ARH saat menjenguk ke tahanan. Dalam testimoni mengharukan, korban justru membela ARH.
“Kalau benar mau membunuh saya, kenapa saya masih bisa bangun dan selamat,” ucap dia.
Saat rekonstruksi di Mapolres Mojokerto, penyidik mengklaim ada pendampingan hukum oleh pengacara bernama Indah Wahyu.
Namun fakta berbicara lain surat kuasa hukum dari pengacara baru muncul 9 hari setelah BAP dilakukan, yakni pada 17 Mei 2025.
Jika benar tanda tangan pengacara sudah ada di BAP sebelumnya, maka ini bisa masuk kategori rekayasa dokumen hukum yang sangat serius.
Investigasi ini tidak dimaksudkan untuk mengganggu proses hukum. Tapi sebagai bentuk kontrol publik yang sah, demi keadilan yang tidak bisa dibeli.
Ketua Umum PJI, Hartanto Boechori, menegaskan bahwa pihaknya siap mendorong Propam, Polda, bahkan Mabes Polri agar menindak tegas oknum aparat jika terbukti bersalah.
“Jika ada kerja sama antara penyidik dan pengacara untuk memanipulasi berkas hukum, itu kejahatan. Pecat! Pidanakan! Cabut hak beracara-nya,” tegas Hartanto.
Kasus ini hanyalah satu dari banyak dugaan praktik kelam di balik institusi penegakan hukum.
Namun, langkah kecil melalui jurnalisme investigatif yang profesional dan berani, adalah cahaya dalam lorong gelap keadilan yang selama ini dikuasai oleh mafia hukum.
PJI mengajak semua pihak untuk bersama membasmi “pelacur keadilan”, demi tegaknya hukum yang tidak hanya tajam ke bawah, tetapi juga adil ke semua arah.
Oleh: Hartanto Boechori
Ketua Umum PJI | Wartawan Utama.