LAMONGAN – Peresmian Stadion Surajaya Lamongan pada Maret 2025 lalu memang menuai pujian, dianggap sebagai simbol kemajuan olahraga di kota ini. Namun siapa sangka, di balik megahnya tribun dan gemerlap lampu stadion, ada luka mendalam yang kini dirasakan rakyat kecil.
Adalah Rofiah, pemilik warung sederhana di kawasan Jalan Pahlawan. Warungnya dulunya menjadi penyelamat logistik para pekerja proyek pembangunan stadion.
Setiap hari ia melayani puluhan pesanan makanan, minuman, hingga rokok. Tapi setelah stadion selesai dibangun, para pekerja pergi begitu saja, meninggalkan utang mencapai Rp173 juta yang hingga kini tak kunjung dibayar.
“Setiap hari mereka makan di sini. Saya percaya saja, karena katanya pasti dibayar oleh pihak proyek. Tapi sampai sekarang, tak ada satu pun yang datang menyelesaikan,” tutur Rofiah dengan mata berkaca-kaca.
Kini, Rofiah yang harus merawat ibunya sakit dan menafkahi tiga anak, salah satunya yatim, terpaksa berutang ke sana-sini untuk bertahan hidup. Bukannya untung, warung yang dulu jadi sumber harapan, kini justru menjadi sumber beban.
Tak hanya Rofiah, sejumlah mandor proyek juga mengaku mengalami hal serupa. Mereka belum menerima pembayaran penuh dari pihak pelaksana proyek. Bahkan laporan ke Disnaker Lamongan mencatat total kekurangan pembayaran kepada pekerja dan penyedia lokal mencapai Rp570 juta.
Yang jadi sorotan adalah PT Wika Bangunan Gedung, kontraktor utama pembangunan stadion, yang hingga kini belum memberikan klarifikasi atau tanggapan resmi terkait tunggakan pembayaran ini.
Stadion megah itu kini justru disorot sebagai simbol ketidakadilan, bangunan indah yang didirikan di atas penderitaan pedagang kecil dan pekerja lokal yang haknya belum dibayar.
Di sisi lain, pemerintah daerah terkesan diam. Tidak ada pernyataan resmi atau langkah nyata untuk membela warga yang dirugikan. Masyarakat pun bertanya, apakah kemewahan layak dibayar dengan air mata rakyat kecil.
Jika situasi ini terus dibiarkan, Stadion Surajaya bukan lagi simbol prestasi, melainkan jadi monumen dari pengabaian, kelalaian, dan bisunya nurani penguasa serta korporasi.
“Jangan biarkan suara rakyat kecil terkubur di balik tembok stadion,” tulis salah satu warga di media sosial, menyerukan keadilan. (Bup)