Daerah

456 Tahun Lamongan, Jalan Rusak Masih di Mana-Mana

aksesadim01
2774
×

456 Tahun Lamongan, Jalan Rusak Masih di Mana-Mana

Sebarkan artikel ini
Img 20250525 wa0005

LAMONGAN – Kabupaten Lamongan genap berusia 456 tahun. Di tengah gegap gempita perayaan hari jadi yang digelar dengan berbagai acara seremonial dan hiburan rakyat, terselip kenyataan pahit yang masih dirasakan sebagian besar warganya, yaitu buruknya kondisi infrastruktur, khususnya jalan rusak yang seolah tak kunjung mendapat perhatian serius dari pemerintah.

Lamongan yang dikenal dengan kekayaan budaya dan kuliner legendaris seperti soto dan nasi boranan ini, ternyata masih terseok-seok dalam hal pembangunan dasar.

Di sejumlah kecamatan, kondisi jalan yang berlubang, becek saat hujan, dan berdebu kala kemarau masih menjadi pemandangan sehari-hari.

“Kalau musim hujan, anak saya berangkat sekolah harus jalan kaki sejauh dua kilometer karena motor nggak bisa lewat jalan yang penuh lumpur,” keluh Siti Mulyani (42), warga Kecamatan Sarirejo, Minggu (25/5/2025).

“Sudah bertahun-tahun kami berharap ada perbaikan, tapi sampai sekarang belum juga ada tindakan,” imbuhnya.

Senada dengan itu, warga Desa Tambakmenjangan, Arifin (41), juga mengungkapkan kekecewaannya. Ia menilai pemerintah daerah terlalu fokus pada proyek-proyek pusat kota dan melupakan desa-desa yang justru menjadi nadi utama kehidupan warga Lamongan.

“Infrastruktur di pusat kota mungkin lumayan bagus, tapi begitu masuk ke pedalaman, banyak jalan yang seperti kubangan kerbau,” ujar Arifin.

Dalam beberapa tahun terakhir, warga mengaku sudah beberapa kali menyampaikan aspirasi melalui musyawarah desa dan laporan ke kecamatan. Namun, hasilnya nihil, aspirasi mereka seolah hanya menjadi tumpukan berkas tanpa ujung solusi.

“Kalau hanya janji, kami sudah kenyang, setiap tahun juga katanya mau diperbaiki, tapi buktinya, jalan di sini masih sama, bahkan lebih rusak,” tutur Kasman (55), tokoh masyarakat di Kecamatan Sugio.

Ironisnya, di momen hari jadi Lamongan yang ke-456 ini, pemerintah daerah justru menggelar rangkaian acara yang meriah.

“Perayaan boleh, tapi jangan lupa rumah kita sedang retak. Apa artinya ulang tahun kalau rakyatnya harus menjerit tiap kali ban motornya terperosok ke lubang,” ujar Mulyani dengan nada getir.

Persoalan infrastruktur di Lamongan bukan hanya menghambat aktivitas warga, tetapi juga berdampak pada ekonomi lokal.

Petani kesulitan mengangkut hasil panen, pedagang terganggu distribusinya, dan anak-anak terancam keselamatannya saat berangkat sekolah.

Pemerhati kebijakan publik Syaiful Arif, menyebut bahwa persoalan ini adalah buah dari perencanaan pembangunan yang tidak merata dan minim kontrol publik.

Ia menekankan pentingnya pengawasan bersama dan transparansi anggaran pembangunan.

“Masyarakat harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan. Dan pemerintah wajib membuka data anggaran pembangunan agar warga tahu ke mana saja dana publik itu digunakan,” jelas Syaiful.

Kini, harapan masyarakat Lamongan hanya satu, semoga perayaan ulang tahun yang megah tidak menjadi hiasan semata.

Mereka ingin kado nyata berupa pembangunan yang merata, adil, dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat dari pusat kota hingga pelosok desa. (Bup)