BOJONEGORO – Kabupaten Bojonegoro dikenal sebagai salah satu daerah terkaya di Indonesia, terutama karena potensi sumber daya alamnya.
Tak tanggung-tanggung, setiap tahunnya daerah ini menerima transfer dana dari pusat melalui Dana Bagi Hasil (DBH) Migas sebesar Rp 4,4 hingga Rp 4,5 triliun.
Angka ini belum termasuk pendapatan dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) murni, yang mencapai sekitar Rp 1,015 triliun.
Dari PAD tersebut, salah satu penyumbang terbesar berasal dari pengelolaan rumah sakit daerah, dengan kontribusi sekitar Rp 563 miliar.
Jika dijumlahkan secara keseluruhan, maka pendapatan riil yang dapat dikelola Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bojonegoro mencapai sekitar Rp 4,8 triliun.
Angka ini menjadikan Bojonegoro sebagai kabupaten dengan kekuatan anggaran terbesar kedua di Jawa Timur.
Namun demikian, dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Induk 2025, Pemkab Bojonegoro masih menghadapi tantangan berupa kekurangan anggaran akibat perhitungan Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (Silpa).
Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Silpa yang semula direncanakan sebesar Rp 2,2 triliun ternyata hanya Rp 2 triliun lebih sedikit.
Alhasil, dari total rencana anggaran sebesar Rp 7,7 triliun, yang dapat benar-benar dimanfaatkan hanya sekitar Rp 7,5 triliun.
Salah satu inisiatif unggulan yang akan dijalankan dengan pendapatan tersebut adalah program Dana Abadi, yang akan dimanfaatkan untuk pendidikan, kesehatan, dan lingkungan selama tiga tahun ke depan.
Namun, di tengah besarnya anggaran tersebut, muncul pertanyaan dari masyarakat terkait masih adanya pungutan di sekolah-sekolah melalui komite.
Hal ini disampaikan oleh Wakil Bupati Bojonegoro Nurul Azizah dalam forum Sapa Bupati, pada Kamis 17 April 2025.
Ia menyoroti masih adanya laporan dari wali murid mengenai kewajiban pembayaran sejumlah kebutuhan sekolah, seperti pengadaan pendingin ruangan (AC) yang dibebankan kepada siswa berdasarkan kesepakatan bersama.
“Saya harap Dinas Pendidikan bisa memberikan klarifikasi dan evaluasi menyeluruh terhadap kondisi ini. Apakah benar biaya-biaya tersebut tidak terakomodir oleh anggaran, dan jika ya, bagaimana solusi terbaik ke depannya agar beban siswa tidak bertambah,” ujarnya.
Dinas Pendidikan pun diminta turun langsung ke lapangan untuk memastikan bahwa seluruh kebutuhan dasar pendidikan benar-benar ditanggung oleh pemerintah, sesuai dengan prinsip pendidikan gratis dan inklusif yang diusung oleh Pemkab Bojonegoro.
Dengan kekuatan anggaran yang besar dan program-program prioritas yang ambisius, masyarakat berharap bahwa tidak ada lagi celah yang membuat siswa harus menanggung beban pembiayaan tambahan di sekolah.
Komitmen Pemkab untuk menciptakan pendidikan berkualitas, gratis, dan merata pun kini tengah ditunggu realisasinya secara konkret. (Yen)