SURABAYA – Effendi Pudjihartono, pemilik restoran Sangria by Pianoza, dituntut 2 tahun 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Surabaya, Siska Christina.
Sidang berlangsung pada Kamis 13 Maret 2015 di ruang sidang Kartika 2 PN Surabaya.
Setelah JPU membacakan tuntutan, Majelis Hakim memutuskan untuk mengabulkan penangguhan penahanan, sehingga terdakwa dapat ‘bebas’ dari Rutan Kelas 1A Surabaya (Rutan Medaeng).
JPU Siska Christina meminta izin untuk hanya membacakan “Amar” tuntutan tanpa perlu membacakan secara keseluruhan.
Ketua Hakim, I Gede Dewa, menyatakan bahwa seharusnya keputusan dibacakan secara lengkap untuk memenuhi hak kedua belah pihak, namun akhirnya menyerahkan kepada kesepakatan antara JPU dan Penasehat Hukum (PH) terdakwa, yang disetujui untuk hanya membacakan Amar tuntutan.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sesuai dengan Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Menanggapi tuntutan tersebut, tim PH terdakwa menyatakan akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada sidang berikutnya yang dijadwalkan pada Senin, 17 Maret 2025.
Setelah sidang, salah satu PH terdakwa, Nurdin S.H., menyatakan bahwa uraian surat tuntutan tersebut tidak benar dan tidak lengkap.
Ia menjelaskan bahwa JPU tidak menguraikan fakta persidangan yang sesuai dengan yang terungkap, serta tidak lengkap dalam menjelaskan unsur pasal yang dianggap terbukti, yaitu ‘menguntungkan diri sendiri atau orang lain.’
“Ini merupakan unsur kesalahan yang merupakan elemen pokok tindak pidana yang diatur dalam Pasal 378 KUHP,” ujarnya.
“Untuk lebih jelasnya, kami akan menanggapi surat tuntutan JPU dalam Nota Pembelaan secara detail dan menguraikan fakta persidangan secara keseluruhan,” tambahnya.
Penasehat hukum juga mengungkapkan keheranan terhadap “keberanian” JPU dalam memberikan tuntutan, mengingat fakta-fakta dalam persidangan menunjukkan bahwa dakwaan JPU tidak dapat dibuktikan secara meyakinkan, sesuai dengan penjelasan para Ahli Pidana, baik yang diajukan oleh JPU maupun oleh penasehat hukum.
“Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam pembuktian tindak pidana Pasal 378, antara lain adanya niat buruk atau mens rea sejak awal, bukti kerugian yang nyata, serta adanya rangkaian kata-kata bohong atau tipu muslihat yang mendahului terjadinya tindak pidana tersebut,” jelasnya.
“Yang terpenting adalah tidak ada ‘tahu sama tahu’ antara yang menipu dan yang ditipu; jika sudah saling mengetahui, maka konsekuensinya juga tahu sama tahu, dan tidak bisa disebut penipuan,” lanjutnya.
Secara khusus, kuasa hukum terdakwa memuji ketegasan majelis hakim, sehingga kliennya tidak perlu mengalami penderitaan yang seharusnya tidak dialami.
Hal ini mengingat terdakwa pernah terjatuh saat persidangan karena tekanan darahnya meningkat hingga 212/112.
Terdakwa Effendi Pudjihartono juga menyampaikan kepada media mengenai keberatannya terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Ia berpendapat bahwa tuntutan tersebut tidak logis, karena dari semua kesaksian yang diajukan oleh JPU dalam persidangan, tidak ada satu pun yang dapat membuktikan dakwaan tersebut.
“Pasal yang digunakan untuk menuntut adalah pasal alternatif, yaitu pasal 378. Saat menandatangani perjanjian pengelolaan, saya tidak menerima sepeser pun uang dari Ellen, malah Ellen menikmati fasilitas bangunan yang saya bangun dengan biaya lebih dari Rp 10 miliar, tetapi saya malah dituduh menipu, ini tidak masuk akal,” jelasnya.
“Uang yang ditransfer ke rekening sebesar Rp 330 juta itu adalah uang bagi hasil, yang seharusnya kurang dari Rp 180 juta jika dihitung dari waktu dia mengelola restoran. Semua itu tertuang dalam perjanjian. Di mana ada unsur penipuan,” tanyanya.
“MOU jelas menyatakan pemanfaatan aset selama 45 tahun, dari 2017 hingga 2047. Periodesasi 5 tahun, Ellen sudah mengetahui semua itu dan sudah memahami konsekuensinya. MOU dan SPK dicantumkan dalam perjanjian pengelolaan. Jika dia tidak membaca atau tidak mengerti, seharusnya dia bertanya dan tidak menandatangani perjanjian,” tambahnya.
“Saya sudah meminta pembatalan penandatanganan perjanjian karena Ellen Sulistyo dianggap sejak awal tidak dapat konsisten dengan komitmennya. Hal ini juga terungkap dalam sidang dari kesaksian pelapor Ellen Sulistyo dan saksi Notaris Ferry Gunawan,” ujarnya.
“Bahkan Ferry Gunawan juga menyatakan bahwa selain sudah ada beberapa permintaan perubahan dari Ellen Sulistyo, setelah perjanjian pun Ellen meminta 2 hingga 3 kali addendum, namun tidak pernah mempermasalahkan perjanjian pemanfaatan aset dengan Kodam V/Brawijaya,” terangnya.
“Ellen selama mengelola mendapatkan omset sekitar Rp 3 miliar, dan uang omset itu masuk ke rekeningnya di Bank Mandiri, tanpa pernah ada audit. Bangunan saya digunakan olehnya, uang omset masuk ke dia, katanya ada renovasi dan pembukaan restoran, tetapi saya tidak menikmati hasilnya, malah saya dilaporkan dan dipenjara. Apakah ini bukan kriminalisasi,” ungkap terdakwa.
Sementara itu, dengan keputusan majelis hakim yang mengabulkan penangguhan penahanan terdakwa terhitung sejak 13 Maret 2025, hal ini sangat diapresiasi oleh terdakwa.
“Adagium hukum yang berbunyi ‘In DUBIO, pro Reo’ artinya jika ada keraguan, seharusnya keadilan berpihak pada terdakwa, kepastian hukum tidak bisa mengalahkan hak asasi manusia,” ujarnya.
“Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang benar (rasio Blackstone). Dalam hal ini, keputusan hakim sudah memenuhi unsur keadilan,” katanya.
Perlu dicatat bahwa kasus ini berawal dari perjanjian pengelolaan restoran Sangria by Pianoza yang ditandatangani di hadapan Notaris Ferry Gunawan pada 27 Juli 2022.
Perjanjian ini melibatkan terdakwa sebagai pemilik restoran dan Ellen Sulistyo sebagai pengelola.
Dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuduh terdakwa secara sengaja memasukkan informasi palsu ke dalam akta otentik.
Informasi palsu ini berkaitan dengan hak pemanfaatan lahan dan bangunan yang merupakan aset milik TNI AD di Surabaya.
Terdakwa mengklaim memiliki hak pengelolaan selama 30 tahun, padahal hak tersebut diperoleh melalui perjanjian sewa yang berlaku selama 5 tahun dan harus diperpanjang setiap periode.
Selain itu, terdakwa juga mengaku sebagai Direktur CV. Kraton Resto, meskipun posisinya sebenarnya adalah Komisaris.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Ellen Sulistyo telah mengeluarkan biaya renovasi dan operasional sebesar Rp 998.244.418.
Rincian biayanya meliputi transfer uang kepada terdakwa sebesar Rp 330.000.000, biaya renovasi sebesar Rp 353.373.900, dan biaya pembukaan restoran sebesar Rp 314.870.518.
Namun, pada 12 Mei 2023, restoran Sangria by Pianoza ditutup oleh pihak Kodam V/Brawijaya.
Penutupan ini didasarkan pada surat dari Pangdam V/Brawijaya Nomor: B/946/V/2023 yang menyatakan bahwa alasan penutupan tersebut adalah karena belum dibayarkannya PNBP.
Namun, dalam persidangan, tampaknya JPU “tidak dapat” membuktikan dakwaan utama, sehingga pasal 266 KUHP harus “dihapus” dan pasal 378 KUHP digunakan untuk memberikan tuntutan dalam kasus ini. (Red)